Apa Pendapat Praktisi Hukum Properti Mengenai Kisruh Meikarta versus Konsumen?

Advokat Muhammad Joni, S.H., MH., praktisi hukum properti dan Ketua Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas Pera)

Propertynbank.com – Konflik pengusaha  kota baru mandiri  Meikarta dengan konsumennya semakin meruyak. Tak kunjung memperoleh unit apartemennya, malah 18 konsumen Meikarta digugat Rp56,1 Miliar PT. MSU  ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Keluhan konsumen kepada developer maupun bank pemberi kredit yang terus menagih cicilan, menjalar ke ranah lembaga politik. Tak hanya demo, konsumen  mengadukan nasibnya ke tiga lembaga Trias Politica: yudikatif, eksekutif, juga legislatif   (DPR).  Kemana bola  sengketa  Meikarta  versus konsumennya bergulir? Apakah hukum yang bisa dipakai? Ataukah hukum perlindungan konsumen dan hukum properti perlu rombak?  Apakah Pemerintah tidak bisa bertindak?

Berikut wawancana wartawan Majalah Property & Bank (P&B) dengan Advokat Muhammad Joni, S.H., MH., praktisi hukum properti dan Ketua Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas Pera).

P&B: Heboh kisruh  kasus konsumen Meikarta, sebenarnya pemerintah bisa  langsung turun tangan?

Muhammad Joni: Ya.., bisa kali lah, malah itu kewajiban. Dasar mandatnya perlindungan hukum dan kepastian hukum yang  adil.

P&B:  Untuk menuntaskan kasus Meikarta, apa yang harusnya bisa dilakukan pemerintah?

Muhammad Joni: Sebagai regulator, Pemeringah membuat aturan, dan mempertahankan tegaknya aturan. Tujuan pertama negara adalah menjadi alat hukum (rechtsapparaat).

Juga, pemerintah sebagai institusi publik pemberi ijin, sebagai alat kontrol terjaganya hukum dan kepentingan publik atas perbuatan badan privat.  Jika ada komplain, keluhan yang beruntun dan rumit, lebih daripada soal wanprestasi karena efeknya berdimensi luas,  maka pemerintah penjaga tegaknya hukum dan  pelaku penyelenggaraan kesejahteraan (bestuurszoorg) atas hak hunian,  beralasan melakukan evaluasi kritis dan utuh, audit lengkap pro konsumen yang posisi sosial-ekonominya lemah.

P&B: Bukankah sudah ada ikatan perjanjian perdata antara para pihak?

Muhammad Joni:  Ya betul. Namun dalam hukum perjanjian, jika ada tiga hal: Dwang (paksaan),  Dwaling (salah-kira), dan  Bedrog (tipuan), maka perjanjian bisa diminta pembatalan. Walaupun, hal itu harus dibuktikan lho, bukan hanya disangkakan saja.

P&B: Maksudnya?

Muhammad Joni: Begini, kalau Dwaling (salah kira), itu muncul karena bayangan (voorselling)  yang salah perihal pokok perjanjian. Misalnya salah kira tentang barang yang dijual. Mis-interpretasi. Salah tafsir, atau bahkan bisa karena salah letak, salah posisi hadap  unit, pokoknya beda di kertas dengan unit konkrit. Juga, karena kualifikasi teknis benda tidak cocok dengan pesanan atau janji beli.  Tamsilnya, yang dipinang kakaknya, yang dinikahkan adiknya.

Jika unit apartemen, yang dijual dalam versi gambar berbeda wujud teknisnya dengan yang dibangunkan. Yang dibangun dalam gambar apalagi hanya ilustrasi, beda dengan dalam wujud nyata penyerahan unitnya. Beda iklan dengan kenyataan.

Perlu dipahami, UU Rumah Susun memungkinkan pemasaran dengan cara Pre Project Selling, basisnya gambar dan data teknis unit, atau malah sudah ada unit atau rumah contoh.  Gambar  sangat mungkin bias, tidak presisi, sehingga terjadi Dwaling. Soalan seperti ini yang perlu dijawab dengan norma perlindungan hukum yang ketat,  teliti, dan terukur. Sudah  perlu  revisi UU Rusun pro konsumen.

Dalam kenyataan, konsumen acapkali mengalami beda unit, pindah unit, up grade tapi naik harga atau harga baru, atau  down grade  unit tanpa pengembalian dana. Bisa juga karena beda lokasi dan ukuran, beda tinggi ruang,  beda luas lantai ataupun arah view. Antara view pantai indah dengan view jalan padat,  kenyataannya beda nilai, beda harga.

Dalam literatur hukum, sering dicontohkan Dwaling, seperti kasus jual beli arloji yang diemaskan (verguld) yang dikira emas sungguhan.

Salah kira yang terjadi dalam pemikiran konsumen awam,  seakan jika sudah lunas dan sudah serah terima unit, serah terima kunci istilahnya, dikira sudah berarti penyerahan hukum (juridish levering).  Konsultan developer atau marketing tidak menjelaskan atau tak paham, jadi konflik-lah!  Padahal,  walau sudah lunas membayar namun status hukumnya masih aset perniagaan developer, karena belum penyerahan hukum. Walau saya tidak sependapat narasi hukum yang begitu. Soal begitu makin merugikan konsumen jika developer PKPU atau pailit.

P&B: Kalau Bedrog?

Muhammad Joni: Bedrog itu terjadi bilamana perbuatan dengan beberapa muslihat (kunstgrepen), atau gabungan muslihat (complex van kunstgrepen).  Sehingga pihak lain, dalam hal ini konsumen yang awam, dipikirannya timbul  satu bayangan palsu (valse voorstelling) tentang hal yang disepakati atau diperjanjikan. Itu norma Pasal 1328 KUHPerdata. Namun, Bedrog itu bukan hanya dipersangkakan, namun wajib dibuktikan. Laga isi perjanjian dengan fakta dan bukti. Buka kulit nampak isi.  Disini perlu pasih hukum pembuktian. Jangan sungkan gunakan lawyer spesialis properti.

Proyek Meikarta (poto dakta.com)

P&B: Kembali ke soal paksaan, bukankah pembeli atau konsumen tidak dipaksa memesan atau membeli unit properti? Ada surat pesanan, ada perjanjian pengikatan jual beli, ada perjanjian jual beli? Malah dengan tawa dan sukaria konsumen menurunkan tandatangan persetujuan,  tidak ada paksaan. Malah dapat banyak hadiah.

Muhammad Joni: Paksaan  bukan maksudnya paksaan keras (geweld), tapi paksaan biasa (Dwang). Merujuk Pasal 1321 KUHPerdata, tiada kesepakatan yang sah, apabila ada kekhilafan, atau kesepakatan diperoleh dengan paksaan atau penipuan.   Jika dengan paksaan keras, disebut vis absoluta, maka perjanjian batal mutlak. Mengapa? Karena pada diri pihak yang dipaksa itu, tidak ada suatu kehendak bebas. Padahal kehendak bebas itu unsur kesepakatan atau konsensus. Asasnya konsensualisme. Misalnya, orang yang ditodong senjata dipaksa tandatangan kontrak, tidak ada kehendak bebas.

P&B: Kalau Dwaling tadi?

Muhammad Joni: Jika  ada Dwaling bisa dimintakan pembatalan, bukan batal mutlak, tidak batal demi hukum. Namun digugat batal.

P&B: Apa yang harus dilakukan Pemerintah atasi keluhan konsumen. Seoptimal mungkin mencegah  Dwang, Dwaling, Bedrog?

Muhammad Joni:  Rombak UU nya, buat UU Properti Realestat yang kuat perlindungan konsumen, karena relasi hukum dalam jual beli properti/ realestat itu kompleks, dan bukan hanya relasi perdata namun relasi hukum publik. Ya.., ayo pemerintah buat Omnibus Law Perlindungan Konsumen.  Jangan hanya Ease of Doing Bussines, tapi aturan Pro Konsumen. Bukankah berlaku adagium bahwa konsumen adalah Raja.  Ayo, segera dorong  Omnibus Law Pro Sang “Raja”.

P&B:  Kan sudah ada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)?

Muhammad Joni:  BPKN itu bagus, namun wewenangnya terbatas, tidak bertaji.  Itu salah satu alasan saya mengapa perlu Omnibus Law Sang “Raja” tadi.   BPKN jangan hanya rajin menerima pengaduan saja,  apalagi hanya survey. BPKN musti bertindak proaktif dan memberi insentif kebijakan pro konsumen. Konsumen butuh perlindungan hukum yang executable, ya seperti Food and Drug Administration (FDA) lah di USA.   Untuk apa menerima kasus pengaduan, jika tanpa penyelesaian?  Entry Cases  dan  Exit Cases atau Close Cases,  alurnya harus jelas, dan proseduralnya bekerja kepada titik tuntas. Bukan terima pengaduan dan acapkali terabaikan, sehingga sang “Raja” harus berpayah mencari solusi ke kompleks parlemen segala.

The post Apa Pendapat Praktisi Hukum Properti Mengenai Kisruh Meikarta versus Konsumen? appeared first on Property & Bank.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Generated by Feedzy